kesehatan

Thursday, December 01, 2005

Pembunuh Nomor Tiga itu Bernama Stroke

Pembunuh Nomor Tiga itu Bernama Stroke

JAKARTA - LIFE begin at forty, hidup dimulai di usia 40. Sebab di usia kepala empat inilah seseorang tengah berada di puncak karir. Di usia ini pula seseorang tengah menikmati apa yang menjadi perjuangannya sejak usia 20 hingga 30-an. Sayangnya, di usia ini pula, penyakit stroke mencari mangsa.
“Banyak dijumpai kasus stroke menyerang orang usia 40-an, di mana seseorang sedang dalam masa produktif. Alangkah tragis bila di usia muda ini harus hidup di atas kursi roda atau berbaring di tempat tidur hanya karena penanganan stroke yang terlambat,” ujar Patricia M. Widjaya, Sp, kepala Bagian Radiologi di Rumah Sakit Husada, Jakarta.
Stroke adalah serangan mendadak pada otak akibat pembuluh otak tersumbat atau pecah. Biasanya kondisi ini akan diikuti dengan gejala seperti nyeri kepala hebat, penurunan kesadaran dan kejang mendadak. Juga terjadi gangguan daya ingat, keseimbangan dan gangguan orientasi tempat, waktu dan orang.
Jenis stroke sendiri ada dua macam, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Pada stroke iskemik terjadi proses arteriosklerosis atau darah terlalu kental yang membuat pembuluh darah otak tersumbat. Sumbatan ini terjadi akibat lepasnya bekuan yang berasal dari lokasi lain. Sedangkan stroke hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah akibat dinding pembuluh rapuh atau anomali-anomali bawaan pada usia muda.
Menurut Patricia, pasien stroke iskemik kerap terlambat ditangani akibat masyarakat kurang memahami bahaya stroke. “Umumnya, jika seorang anggota keluarga terserang stroke iskemik, tidak langsung dibawa ke rumah sakit. Mereka hanya membaringkan penderita saja. Kalau dilihat kondisi membaik maka dianggap kesehatannya sudah pulih,” ungkap Patricia.
Padahal stroke iskemik bisa dipulihkan kalau ditangani dengan cepat, tidak lebih dari tiga jam setelah serangan terjadi. Penanganan awal yang paling menentukan adalah dengan cara deteksi.

Teknik Deteksi
Ada dua jenis teknik pemeriksaan imaging untuk mengevaluasi kasus stroke atau Cerebrovascular Disease (CVD), yaitu CT scan dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan diketahui sebagai pendeteksi imaging yang paling mudah, cepat dan relatif murah untuk kasus stroke. Namun dalam beberapa hal, CT scan kurang sensitif dibanding dengan MRI, misalnya pada kasus stroke hiperakut.
Patricia berpendapat jika pasien stroke iskemik ditangani dengan cepat dan tepat menggunakan paket pemeriksaan CT scan dan MRI maka stroke yang berkelanjutan bisa pulih kembali.
Lebih jauh Patricia menjelaskan langkah pemeriksaan CT scan terhadap otak polos, potongan aksial dari basis crani sampai vertex. Bila ada tanda-tanda stroke hemoragik maka pemeriksaan selesai sampai di tahap ini. Namun kalau CT scan normal atau tidak ada tanda-tanda akut infark maka pemeriksaan dilanjutkan dengan MRI.
RS. Husada menyediakan sarana MRI dengan tesla tinggi, yaitu 1,5 tesla. MRI adalah suatu alat diagnostik gambar berteknologi canggih yang menggunakan medan magnet, frekuensi radio tertentu dan seperangkat komputer untuk menghasilkan gambar irisan penampang tubuh manusia.
Dengan ukuran tesla yang lebih tinggi maka akan dihasilkan gambar lebih tajam. Kemampuan membuat irisan penampang sangat tipis, yaitu 1-2 milimeter, sehingga detil struktur jaringan tulang rawan terlihat lebih jelas.
Selain mendeteksi stroke, MRI juga bisa mendeteksi kelainan jaringan di leher, tumor, infeksis atau abses, proses degenerasi, trauma, kelainan bawaan dan sumbatan pembuluh darah. Pemeriksaan stroke dengan MRI ini, menurut Patricia, hanya tepat bagi stroke akut yang kurang dari tiga jam, adanya defisit neurologi yang nyata dan terjadi trombosit.

Terapi
Setelah menjalani deteksi teknis, pasien stroke harus menjalani perawatan umum. Menurut Prof. DR. Dr. SM.Lumbantobing, SpS (K), ahli penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), perawatan umum sangat diperlukan apabila kesadaran pasien menurun. Biasanya perawatan ini dilakukan setelah diadakan pemeriksaan penunjang rutin, mencakup hemoglabin, hematokrit, eritrosit, lekosi, masa pendarahan serta pembekuan, dan seterusnya.
Pada tahap perawatan umum harus diperhatikan jalan nafas pasien. Jika jalan nafas tersumbat maka lendir harus disedot untuk mencegah kekurangan oksigen. Masuknya cairan, kalori dan elektrolit juga harus dipantau dengan baik. Di samping itu harus dicegah terjadinya peningkatan suhu dengan cara pemberian obat anti piretik atau kompres.
“Peranan terapi anti-hipertensi pada fase akut stroke masih kontraversial di antara ahli medis. Ada dugaan bahwa menurunkan tekanan sistemik dapat memperburuk aliran darah selebral yang mengakibatkan kerusakan iskemik,” jelas Lumbantobing. Mengobati tekanan darah umumnya dilakukan bila tekanan diastole melebihi 140 mm Hg atau tekanan sistole melebihi 220 mm Hg. Ada pula pakar yang mengambil standar batas lain, yaitu tekanan astole lebih besar dari 220 mm Hg.
Umumnya tekanan darah meningkat pada fase akut stroke. Peningkatan tekanan darah ini dapat disebabkan oleh stres, rasa nyeri, kandung kencing yang penuh dan tekanan intrakranial yang meninggi. Bila iskemia didapati cukup berat maka sebagian sel saraf otak mati atau sekarat. Saraf yang mati ini tidak dapat ditolong. Yang bisa dilakukan tim medis adalah berusaha agar saraf yang sekarat jangan sampai mati. Saat inilah dibutuhkan suatu terapi khusus bagi pasien.

Pembunuh Nomor Tiga
Lumbantobing berpendapat bahwa banyak masyarakat awam yang tidak menyadari bahwa stroke sangat berbahaya. Informasi ini sering tidak didapat oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah. Yang perlu diketahui adalah sesungguhnya stroke merupakan keadaan gawat darurat. Stroke membutuhkan penanganan segera, sama halnya dengan jantung. Jika pada jantung disebut serangan jantung, maka stroke bisa disebut sebagai serangan otak.
Jumlah penderita stroke di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Jangan disepelekan, sebab penyakit ini sudah menjadi pembunuh nomor tiga di Indonesia setelah penyakit infeksi dan jantung koroner. Sekitar 28,5 persen penderita penyakit stroke di Indonesia meninggal dunia.
Di Eropa, stroke merupakan penyakit berbahaya kedua setelah penyakit jantung koroner. Di antara 100 pasien rumah sakit, sedikitnya dua orang merupakan penderita stroke. Jika tidak ditangani dengan segera maka penderita stroke bisa berakhir dengan kematian atau kecacatan, yakni lumpuh dimensial atau pikun dan gangguan lain seperti sulit bicara dan melakukan kegiatan lainnya.
Untuk mencegah “the silent killer” ini maka seseorang dianjurkan untuk mengurangi rokok, melakukan olah raga teratur, membatasi minuman beralkohol, dan menghindari stres berlebihan. Mereka yang berpotensi tinggi terkena stroke adalah penderita hipertensi, kencing manis, pecandu rokok dan alkohol, serta penderita stres berat.(mer)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home